Aku duduk di deretan terakhir, sambil memandangi kesedihan yang nampak di acara pemakaman ini. Sesungguhnya dengan sangat berat hati aku datang kesini, ke pemakaman ayah kandungku sendiri. Rasanya waktu berjalan sangat lambat, rasanya udara terasa sangat pekat. Aku bosan disini , ditengah air mata para pelayat yang berjubal, khususnya geram melihat dia yang sedang berdiri disebelah peti mati ayah kandungku, yang sebentar lagi akan menyampaikan pidato berduka nya. “Cepatlah kau selesaikan bait romantis mu itu dan kuburkan dia segera”, amukku dalam hati.
“Saudara sekalian, sesungguhnya .. aku berpikir aku tidak mampu berbicara disini.. terlebih mengenai .. hal-hal yang ...eehm.. berhubungan dengan beliau, papaku. Aku begitu emosional dan terpukul akan kepergian dirinya.. sebab ia adalah sosok papa yang bijaksana, suka menolong sesama, sayang terhadap keluarga, sayang padaku , dan... pada kakak tiri ku.”
“HAAALOOO! Dia penyayang kelurga? Kalau iya mengapa ia meninggalkan aku dan ibuku, berbohong dari istri mudanya dan yang lebih gilanya lagi ia meninggalkan aku dan ibu untuk wanita lain. Dasar Meilin si anak penjilat”. Seru ku dalam hati
“Hmm.. 6 bulan yang lalu..tepat saat aku berumur 20 taun, papa menceritakan kisah hidupnya yang sejujurnya. Saat itu aku sedih dan kaget mendengar dia bercerita bahwa sebenarnya ia pernah menikah dan mempunyai anak. Anak perempuan yang wajahnya mirip aku, yang kepintarannya melebihi aku, dan ia berterus terang bahwa ia merindukannya namun tidak bisa ia peluk.....sampai sekarang, sampai ia terbaring di sebelahku.”
“Dia menyayangiku? Tapi mengapa ia meninggalkan aku.” Tanya ku dalam hati
“Aku sedih saat mendengar itu, aku sedih ia memendam rahasia itu, lebih sedih lagi karena mamaku tak pernah tahu itu. Sedih karena ternyata ia tak sesempurna yang aku bayangkan. Sedih sampai aku tak bisa menunjukan respon atau perubahan emosional , karena aku tak ingin ia takut untuk bercerita yang sejujurnya. Tiga bulan setela ia bercerita padaku, mama ku mengetahui cerita ini juga, dan ia pergi begitu saja dan hendak membawaku juga. Namun aku memilih tinggal bersama papa. Mama menganggapku tidak tahu mana yang benar dan yang salah, pengecut, tidak tahu diri, tapi aku yakin aku benar. Mengapa aku yakin? Itu karena kita hanya manusia yang tak luput dari kesalahan namun juga manusia yang pasti pernah berbuat kebaikan. Sekarang aku hendak bertanya kepada kalian semua, siapa yang pernah menerima budi baik papa ku? Aku yakin semua pernah, karena aku lah saksi hidup yang melihat saat kalian ditolong papaku. Aku juga hendak bertanya kepada mama, apakah mama tidak pernah melakukan kesalahan besar atau kebohongan besar seperti yang papa lakukan? Aku bersumpah mama pernah. Dan aku bertanya pada Juliana satu pertanyaan, mengapa kamu berani menghakimi ayahmu sendiri padahal kamu tidak pernah tahu alasan ia berbuat begitu? Mengapa hanya perkataan ibumu saja yang kau percayai?”
Aku tertegun sejenak. Bingung, sebab, memang seingatku dulu sebelum ayah pergi, dia begitu penyayang, dia bertanggung jawab, dan sering mengajakku jalan – jalan ke tempat yang aku suka. Tapi tiba-tiba ia pergi dan mama ku berkata ayah pergi karena ia memilih wanita lain. Tapi anehnya ibuku seperti tidak terpukul, berselang 1 minggu kemudian , ibuku menikah lagi dengan pria yang lebih kaya.
“Papa meninggalkanmu, sebab ibumu didesak keluarganya untuk menikahi lelaki yang lebih kaya. Dan memang benar saat itu ia memilih untuk tidak menuruti perintah mamamu untuk tidak lagi menolong Linda, yang aku kenal sebagai tanteku, seorang wanita yang dibuang keluarganya di jalan, yang telah ia didik dari wanita jalanan menjadi wanita kantoran. Aku membuka semua cerita ini, karena papa memintaku untuk menjelaskan kepada semua anggota keluarganya yang menghakimi dirinya tanpa pernah melihat alasan dibalik semua itu. Dan aku sudah muak, sudah muak untuk diam dan menjadi penonton dari semua kejadian ini, muak memendam perasaan ku serta kebenaran yang aku tahu, dan sudah muak melihat betapa kalian semua, terkadang lupa bahwa papaku dan kalian hanya manusia yang tidak sempurna.”
“Dia pasti bohong.. dia pasti bohong... dia pasti bohong..” aku coba meyakinkan hatiku sendiri. Namun tak bisa, semua begitu masuk akal. Ayah tiriku memang lebih kaya, saat nenekku masih hidup dia suka menceritakan wanita bernama Linda yang ditolong ayahku dari jalan. Dan .. aku melihat kejujuran dimata Meilin.
“Pa.. aku sayang papa.. aku tak peduli.. orang menghakimi papa seperti apa.. berpendapat seperti apa.. papa tetap yang terbaik.. aku sudah sampaikan semua.. aku harap papa bisa beristirahat dengan tenang.. aku tegar disini.. walau sendiri.”
Aku menangis mendengarnya, sesungguhnya aku membenci Meilin karena aku cemburu, sebab ialah yang mendapatkan kesempatan bersama ayah. Aku benci ayahku karena dia tidak memilih bersamaku, saat aku membutuhkannya. Aku benci kenyataan ini, kenyataan bahwa aku menutup hati saat ayahku datang padaku sebelum ia meninggal, menyesal karena aku angkuh sekali, seperti selayaknya aku manusia yang tak berdosa.
Aku melihat semua orang bangkit berdiri, memeluk Meilin, meminta maaf dihadapan jenazah ayahku. Aku melihat ibuku pun menangis, aku bingung. Aku tidak mampu bergerak dari kursiku. Hatiku terlalu keras untuk mengakui bahwa Meilin benar. Aku belum bisa menerima semua ini, aku malu mengakui aku salah.
Peti mati ayahku hendak ditutup, aku semakin kalut,”tunggu!” seruku kepada mereka. Biarkan aku melihatnya untuk yang terakhir kali. Aku pun menghampiri peti tersebut, aku tak sanggup menahan air mata ini. Aku menggandeng Meilin yang ada di sebelah peti mati ayah kami, dan dalam hati aku berkata,”ayah.. maafkan aku. Aku menyayangimu.. dan aku berjanji sebagai kakak yang lebih tua 15 tahun dari Meilin, aku akan menjaganya sampai ia menikah dan mandiri. Ayah... suatu saat kita akan bertemu lagi.. selamat jalan.”